MSNews.id – Jakarta—Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa 354 dari 580 anggota DPR RI periode 2024-2029 memiliki afiliasi dengan dunia bisnis.
Data ini diperoleh ICW melalui penelusuran berbasis data terbuka yang dilakukan sejak 31 Juli hingga 22 September 2024.
Temuan ini menunjukkan sekitar 60 persen anggota DPR terlibat langsung maupun tidak langsung dalam bisnis.
“Jika mengacu pada pelantikan anggota DPR kemarin, setidaknya 60 persen dari 580 anggota memiliki hubungan dengan bisnis,” ujar Yassar Aulia, Staf Divisi Korupsi Politik ICW, dalam siaran di kanal YouTube ICW, Jumat (4/10/2024).
Yassar menjelaskan, afiliasi bisnis tersebut mencakup hubungan langsung dan tidak langsung dengan badan hukum swasta. Hubungan langsung meliputi posisi sebagai direktur, komisaris, CEO, atau pemegang saham.
Sementara itu, hubungan tidak langsung mencakup keterlibatan keluarga dekat seperti istri, suami, anak, ayah, atau ibu yang memiliki bisnis.
“Ketika keluarga inti mereka memiliki usaha, hal itu juga kami kategorikan sebagai afiliasi bisnis,” tambahnya.
ICW mencatat bahwa seluruh partai politik yang berhasil masuk parlemen turut menyumbang anggota dengan afiliasi bisnis.
Partai Gerindra tercatat memiliki jumlah anggota terafiliasi terbanyak, yaitu 65 dari 86 anggota.
Disusul oleh PDI-P dengan 63 dari 110 anggota, Golkar dengan 60 dari 102 anggota, serta PKB sebanyak 42 dari 68 anggota.
Partai lainnya seperti Nasdem menyumbang 41 dari 69 anggota, PKS dengan 30 dari 53 anggota, PAN sebanyak 28 dari 48 anggota, dan Demokrat dengan 24 dari 44 anggota.
“Seluruh partai memiliki politisi pebisnis di legislatif,” tegas Yassar.
Dari sisi sebaran wilayah, Jawa Timur menjadi provinsi dengan anggota DPR terafiliasi bisnis terbanyak, yaitu 63 orang.
Disusul oleh Jawa Barat (53 orang) dan Jawa Tengah (50 orang). Menurut Yassar, tren ini tak lepas dari mahalnya biaya politik di Indonesia.
“Untuk berkampanye dan berorganisasi di internal partai saja membutuhkan dana besar. Bahkan, ada anggota DPR yang mengungkapkan bahwa biaya untuk berkontestasi bisa mencapai Rp80 miliar,” ungkapnya.
Yassar memperingatkan bahwa tingginya biaya politik berpotensi menciptakan demokrasi transaksional. Hal ini juga berisiko menjadikan fungsi legislasi sebagai alat akumulasi dan pelestarian kekayaan pribadi.
“Fungsi publik yang seharusnya berorientasi pada kepentingan masyarakat justru beralih menjadi sarana rent seeking,” tuturnya.